Halaman

Senin, 04 Juni 2012

TAMBANG EMAS CEMARI SUNGAI SAMBAS


Ketergantungan warga Sambas pada air Sungai Sambas untuk mandi, cuci, dan minum tidak bisa dijamin lagi karena terancam oleh kandungan merkuri dari limbah pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sudah berlangsung lama.
“Sebelumnya, beberapa tahun lalu jika air sungai surut seperti kopi susu dan akan kembali bening (jernih, red) jika air sudah pasang. Tetapi sekarang, pasang-surut air tetap keruh,” tutur Dedi Supriadi, warga yang bermukim di tepi Sungai Sambas, Sabtu (2/6).

Dedi dan ribuan warga sangat tergantung pada aliran air Sungai Sambas yang dulunya jernih. Ternyata, Sungai Sambas tak sendirian dicemari lumpur yang diduga mengandung logam berat itu. “Sekarang sudah menyebar ke Sungai Seminis, Sajad, Sejangkung, Kartiasa, Tebas, Sebangkau, dan Sungai Selakau,” tambah Dedi kepada Equator di Sambas.
Sambas dirasakan agak unik. Banyak warga yang disebut-sebut menolak perkebunan sawit tetapi membiarkan rusaknya lingkungan akibat PETI. Sungai Sambas menjadi keruh, aliran air dulunya jernih menjadi cokelat karena bercampur lumpur. Beberapa kali PETI dirazia, namun masih saja berlangsung.
Dedi merasakan, keruhnya air Sungai Sambas sudah berlangsung sejak lama. Air sungai ini merupakan kebutuhan air bersih warga sehari-hari. Masyarakat sebenarnya sudah resah dan heran dengan semakin memburuknya kondisi air sungai kebanggaan mereka.
“Terpaksa, walaupun keruh warga tetap saja mandi dan mencuci di sungai, karena memang tidak ada fasilitas air bersih untuk umum sebagai alternatif warga saat air sungai keruh,” jelasnya.
Warga lainnya, Rayadi, mengungkapkan bahwa air sungai yang keruh datang dari arah Kecamatan Subah, terus mengalir ke Sungai Lubuk Lagak, lalu ke arah Sungai Sambas Kecil, dan keluar di Simpang Tiga Muara Ulakan menuju Sungai Sambas Besar. Derasnya arus menyebabkan kekeruhan air semakin menyebar, akibatnya Sungai Sambas yang dulunya jernih berubah warna menjadi cokelat.
Rayadi meminta aktivitas masyarakat yang mencemari sungai dapat dihentikan. Dia sedih melihat warga yang bermukim di tepian Sungai Sambas setiap hari harus mandi dan gosok gigi dengan air keruh.
“Kalau orang dewasa mungkin masih bisa bertahan dengan pencemaran air sungai. Yang dikhawatirkan anak-anak, apakah kulitnya atau pencernaannya mampu menerima kandungan air yang sudah tercemar,” keluh Rayadi.
Kerisauan senada diungkapkan Ikshan, warga Sambas yang sedang memancing yang menjadi hobinya sejak kecil. “Semenjak Sungai Sambas keruh, memancing jadi sulit, karena hewan air sepertinya menghindar ke tempat yang tidak tercemar dari limbah pertambangan. Dulu sungai ini penuh udang, tiap malam pakai tereng kelihatan udangnya. Sekarang udang hilang, mungkin air sungai sudah mengandung merkuri,” sesalnya.
Dia khawatir, lima atau 10 tahun ke depan bayi-bayi yang lahir di Sambas yang orang tuanya menggunakan air sungai itu akan terserang penyakit minamata. Penyakit yang menyebabkan bayi lahir cacat akibat merkuri.
Yang pasti, lanjutnya, akibat PETI jelas merugikan masyarakat banyak. Khususnya warga yang bermukim di pinggir sungai atau nelayan setempat yang menggantungkan hidup dari hasil sungai.
Sementara itu, Eli Nalin, tokoh masyarakat Desa Madak, Kecamatan Subah, juga mengeluhkan keruhnya Sungai Madak akibat PETI yang mengalir ke Sungai Teberau.
“Yang kita khawatirkan dari keruhnya sungai ialah kesehatan. Mudah-mudahan ini bisa cepat diatasi, mengingat sungai kebutuhan penting masyarakat yang banyak bergantung dari penghasilan sungai, seperti nelayan,” ungkapnya kepada Equator.
Sebelumnya, kepada sejumlah media, Kapolres Sambas AKBP Pahala HM Panjaitan berjanji akan merazia aktivitas PETI. “Kita akan selalu siap apabila diperlukan Pemkab Sambas merazia PETI dan menindak pelaku. Namun kita juga perlu didukung dari sosiologinya. Karena aktivitas PETI dari dulu hingga sekarang tidak ada penyelesaiannya,” kelitnya.
Padahal kapolres mengaku banyak dapat pesan singkat (SMS) dari masyarakat agar dilakukan penindakan PETI. Masyarakat memang sudah resah itu disebabkan limbah PETI mencemari sungai.
“Begitu akan dilakukan razia, pelaku PETI di lapangan sudah tidak ada sehingga kita turun sia-sia. Mereka sudah memasang mata-mata, sehingga informasi kedatangan aparat hukum diketahuinya,” jelas Pahala.
Maraknya aktivitas PETI karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Banyak perusahaan perkebunan yang membuka lapangan pekerjaan malah mengalami kesulitan dalam sosialisasi. Sementara banyak LSM tidak bereaksi kendati ancaman kerusakan lingkungan akibat PETI.
Kapolres mengatakan, mereka memilih menambang emas karena tak ada lapangan kerja. Walaupun kenyataannya harus bekerja di tempat yang berbahaya dan membahayakan ribuan warga. “Bagaimanapun, polisi siap bersama-sama Pemkab Sambas untuk merazia aktivitas PETI yang menjadi keluhan masyarakat,” pungkasnya. (edo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar